Sunday, November 07, 2004

Kevin

Kevin...
dia menggenggam telapak tangan
dan berkenalan

kecil,
kurus nyaris tak berdaging
terbatuk di setiap lima menit

siang tadi dia pulas
di kasurku yang keras

terjaga saat aku tak ada
terbangun dan berpamit



Monday, November 01, 2004

MOMOK HIYONG

Dari mulutku keluar sabda
Dari tanganku lahir kekuasaan tanpa batas
Di kakiku semua bersimpuh
Tidak ada protes
Tidak pula pembangkangan
Sabdaku adalah perintah
Kuasaku adalah segala
Akulah Momok Hiyong!

TIRUS

Aku belum pernah bersitatap dengannya. Apalagi berbincang dalam satu kesempatan. belum pernah. Tapi aku selalu ingat wajahnya. Wajah tirus seorang lelaki yang menatap samar. Tidak tajam, tidak pula kosong. Bergelegak tapi tak tampak.

1996, aku sudah mendengar namanya. Dari seorang teman yang juga tidak dekat dengannya. Aku tidak ingin bertemu. Apalagi berbincang untuk waktu yang panjang. Sama sekali tak terpikirkan.

1997 aku mulai menyanyikan bait-bait puisinya yang telah digubah. Si Tirus konon menciptakannya hanya sebagai gerundelan. Celotehan orang kecil yang terhimpit kebutuhan hidup. Namun, negeri ini anti orang kecil. Gerundelan dianggap protes, dan si Tirus mulai diwaspadai.

Tirus, demikian aku lebih suka menyebutnya, bukan tidak sadar. Seperti bunga, ia tahu kalau dirinya salah tumbuh karena akarnya melekat di tembok yang bercat putih. Tirus bukan hanya diwaspadai.. Ia kemudian dicari hingga akhirnya sang istri tidak bisa berkontak lagi.

Ke mana si Tirus?

Istri tak mengerti. Kawan tak pula mengetahui. Ditelan bumi? Tidak! Tirus tidak suka pada alam untuk berserah. Meski sudah enam tahun menghilang? Ya. Aku tetap tak percaya! Setiap kali puisinya dinyanyikan, aku melihat wajahnya. Wajah yang tirus dengan gelegak yang samar dan hampir tak terlihat.

Aku masih ingat! Ketika pada 1998 aku harus bersembunyi di kolong, dia tidur di sebelahku. Aku juga masih melihat wajahnya pada 1999 lalu. Tersenyum, saat aku bersama-sama para petani belajar menyanyikan puisi-puisinya di sawah dan di jalanan. Namun, setelah itu...tak pernah lagi kulihat wajah tirusnya.

Tiga tahun berlalu. Aku hampir lupa jika mata ini tak melihat seorang muda yang mencoba memotretku dengan handphone di tengah para pengamen dan anak-anak jalanan. Namun, tidak ada senyum seperti lima tahun lalu. Tirus, wajahnya semakin tirus. Tulang di pipinya semakin menonjol. Matanya sayu. Selintas saja kulihat wajahnya karena sekedip kemudian dia menoleh dan hilang.

Pertemuan yang hanya sekedip itu. Tulang pipi yang menonjol, dan mata yang sayu seperti menjadi pertanda. Tirus tak akan kujumpai lagi meski puisinya dinyanyikan beratus kali. Oleh beratus muda yang tangannya senantiasa mengepal di jalanan.


Sunday, October 31, 2004

foto


tes upload foto

Thursday, October 21, 2004

Tulisan seorang teman

Ada sebuah kisah klasik tentang Abe Lincoln yg dg jelas membuktikan, bahwa kasih itu praktis, bahwa rekonsiliasi itu mungkin, dan bahwa pengampunan adalah obat penawar luka kemanusiaan yg paling mujarab.

Kisahnya adl ketika Abe melakukan kampanye kepresidenan.
Saingannya yg paling utama adl seorang yg bernama Stanton. Stanton ini sangat membenci Lincoln. Ia memakai setiap kesempatan sekecil apapun u/ menjatuhkan musuhnya, kalau perlu dgn fitnah. Tp akhirnya Abe yg terpilih.

Ketika tiba saatnya presiden terpilih tsb menentukan susunan kabinetnya, ia membuat pembantu2 terdekatnya terhenyak, terutama tatkala ia memilih Stanton sbg menteri yg memegang posisi terpenting waktu itu, yaitu menteri peperangan. Penasihat demi penasihat bergantian mengingatkan Lincoln, memprotes pilihan sang presiden. Tp Lincoln tetap pd pendiriannya.

Sikap kenegarawanannya nampak sekali ketika ia berkata, "Ya, saya tentu mengenal Tuan Stanton, serta menyadari semua hal buruk yg pernah ia katakan mengenai saya. Tp setelah mempertimbangkan kebaikan seluruh negara, saya tiba pada kesimpulan bahwa ialah org yg paling baik u/ jabatan tsb."

Pilihan Lincoln terbukti tdk meleset. Stanton mjd menteri yg paling baik, dan pembantu Lincoln yg paling setia. Ketika beberapa tahun kemudian, Abe mati terbunuh, dari semua komentar terbaik ttg Lincoln, komentar Stanton adl yg terbaik. Ia berkata, "Lincoln akan tetap hidup dari masa ke masa," "He now belongs to the ages."

Kehebatan kuasa kasih juga diperlihatkan oleh Lincoln, dg kata2nya yg tetap lembut kpd lawan2nya, juga sewaktu permusuhan antara Utara dan Selatan sedang keras2nya. Ketika seorg wanita bertanya, bgmn ia dpt melakukannya, Abe menjawab, "Nyonya, bukankah aku justru menghancurkan musuh2ku, ketika aku mampu mengubah mrk mjd teman?"


Monday, October 18, 2004

Gugur

Satu persatu berguguran...
Sudah tidak tahan dengan ketidakadilan...
Cengkeraman kapitalis semakin menusuk daging.
Satu-persatu mulai terbuka matanya untuk melihat dunia luar. Mereka sadar akan ketidakberesan yang terjadi. Manajemen konflik busuk yang harus dijalani memang sangat menyakitkan. Pada dasarnya manajemen konflik memang menghasilkan output yang tahan banting. Akan tetapi proses dari manajemen k0nflik itu sangatkah menyakitkan...
Budak-budak kapitalis ...
Mereka bekerja untuk seorang kapitalis yang tak pernah berhenti menyusui darah-darah polos manusia yang mengagungkan "kerja".

Sunday, October 17, 2004

Pret

Negaraku diambang kehancuran...
Tak ubahnya zaman Gus Dur , pemimpin negaraku sibuk terombang-ambing di bawah bisikan-bisikan. Kadang putih kadang hitam... kasihan!!!
Pembisik hanus darah sibuk mengkoleksi aib. Aib yang siap dihidangkan di meja mulia bernama "rapat". Aib-aib itu dikumpulkan pion-pion yang berharap perlindungan di bawah ketiak busuk si pembisik. Hidangan lezat itu diramu dari aib-aib orang-orang yang menjauh dari bau busuk ketiak si Pembisik. Entah negara macam apa ini...
Bukannya kebusukan yang dipersalahkan namun hidung-hidung itulah yang harus di amputasi.
Apakah hidung harus disuruh berbohong?
Haruskah mulut-mulutpun disuruh memfitnah hidung dengan mengatakan ... ketiakmu wangi tuan pembisik!!!
Maaf , meski hidung-hidung itu hanya milik rakyat jelata, namun tetap mampu berfungsi dengan benar. Suatu saat mulut akan berani meneriakkan kebusukan ketiakmu. Tapi itu nanti,ketika laparnya perut tak lagi menutup mulut. "Itu nanti ketika kami berdiri di rumah kami sendiri... Dan itu bukan disini...

Kutu Busuk

Aku hidup dalam sebuah sistem yang tak berkerangka. Sistem yang terbentuk tanpa melewati sebuah proses. Proses berpikir dengan akal sehat. Sekali lagi harus kulemparkan kesalahan ini pada nistanya kolonialisme.
Karena akulah produk sejati dari kolonialisme, yang tunduk pada kekuasaan semu...
Kekuasaan yang tak berujung dan tak berakar. Petinggi-petinggi itu hanyalah abdi kompeni. Dan kutu-kutu busuk itu adalah kutu yang tak punya tujuan,...kadang menghisap darah namun lebih sering menghisap madu. Mereka hanya pengkhianat perjuangan bangsa.
... Mereka berlindung dibaling desingan timah panas kompeni yang menghantam rapuhnya bambu runcing pejuang kebenaran.